Berita Ciamis (Djavatoday.com),- Dari desa kecil di Ciamis, muncul sosok kreatif yang mengolah bambu menjadi alat musik unik bernama Dongkur. Yayat Hayatul Hasani, seorang honorer di MI Pasawahan, tergerak untuk melestarikan kembaki alat musik ini saat ia melihat betapa melimpahnya bambu di sekitarnya. Bambu sering kali hanya dijadikan kayu bakar atau bahan bangunan. Melalui tangan dinginnya, bambu tersebut berubah menjadi alat musik dengan suara khas yang menggugah.
Lahir di Ciamis pada 24 September 1986, Yayat sudah lama memiliki minat terhadap seni tradisional. Ia terinspirasi dari kebiasaan petani gula aren yang sering meniup lodong atau tabung bambu untuk menirukan suara alam sebagai bagian dari ritual lokal. Dari sanalah, ide untuk membuat Dongkur lahir. Dengan penuh tekad, Yayat ingin membuat alat musik yang terjangkau, sederhana, dan dapat memanfaatkan bambu yang sering dianggap sepele.
Namun, perjalanan membuat Dongkur tidak mudah. Yayat menghadapi tantangan dalam proses menyelaraskan nada pada bambu. Setiap potongan bambu memiliki karakteristik unik, dari diameter, panjang ruas, hingga tingkat kekeringannya yang mempengaruhi suara. Meski kadang membuat pusing, Yayat terus berusaha, dan akhirnya berhasil menemukan nada khas yang kini menjadi ciri Dongkur.
Teknik dan Seni di Balik Alat Musik Dongkur
Dalam proses pembuatannya, Yayat memilih bambu Gombong yang besar, tipis, dan tua agar suaranya maksimal. Bambu dikeringkan, dipotong, diberi lubang, dan disetel nada dengan ketelitian yang tinggi, bahkan menggunakan aplikasi khusus untuk memastikan nadanya pas.
Dongkur dimainkan seperti gendang, namun dengan sentuhan yang berbeda—tangan digunakan untuk membuka dan menutup lubang, menciptakan variasi nada yang unik. Alat musik ini tidak hanya enak didengar, tetapi juga memiliki nilai seni tinggi yang menyatu dengan budaya Sunda.
Menghidupkan Kembali Musik Tradisional di Sekolah
Yayat melihat potensi besar Dongkur dalam dunia pendidikan. Dengan mengenalkan Dongkur kepada siswa, ia berharap dapat menginspirasi mereka untuk melestarikan musik tradisional. Mengaransemen lagu-lagu populer dengan Dongkur menjadi salah satu cara efektif menarik minat siswa. Di sekolah, Dongkur juga dapat mengajarkan nilai kesederhanaan, kreativitas, dan kolaborasi—semua dalam nuansa budaya lokal.
Ia bahkan berencana melatih para guru musik agar Dongkur dapat diajarkan lebih luas di sekolah-sekolah. “Melalui Dongkur, kita bisa mengenalkan keunikan musik lokal kepada generasi muda,” ujar Yayat dengan penuh harapan.
Harapan ke Depan: Dongkur sebagai Warisan Budaya
Yayat memiliki visi besar untuk Dongkur. Ia berharap alat musik ini menjadi simbol bahwa bahan sederhana seperti bambu memiliki nilai tinggi jika diolah dengan kreatif. “Saya ingin Dongkur ini menjadi bukti bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang sia-sia. Kita harus lebih bijak dalam memanfaatkan sumber daya alam,” ungkapnya.
Ke depan, Yayat berencana memperkenalkan Dongkur lebih luas melalui pertunjukan dari panggung ke panggung, pelatihan membuat Dongkur, dan penghijauan bambu. Ia juga membuka peluang kolaborasi antara Dongkur dengan alat musik tradisional dan modern lainnya, sehingga Dongkur tetap relevan dan berkembang di tengah zaman yang terus berubah.
Dengan semangat menjaga tradisi dan memanfaatkan kekayaan alam, Yayat Hayatul Hasani telah membawa Dongkur ke dunia musik, menjadi inspirasi bagi masyarakat untuk terus mencintai dan melestarikan budaya lokal. (Ayu/CN/Djavatoday)