Berita Jawa Barat (Djavatoday.com),- Pandemi Covid-19 telah menyebabkan penurunan kinerja organisasi dalam jangka pendek. Oleh karena itu, istilah turbulensi-ketidakpastian-kebaruan-ambiguitas (TUNA) diciptakan.
Namun, jika organisasi dapat merespon secara fleksibel terhadap kontraksi yang terjadi, maka akan menemukan peluang baru.
Pada Sabtu (20 Maret 2021), Profesor Aurik Gustomo, seorang guru besar bidang pembangunan manusia, mengungkapkan hal itu dalam kuliah sains yang diberikan oleh seorang guru besar di Institut Politeknik Bandung.
Selain tantangan dari lingkungan eksternal, organisasi juga menghadapi fenomena disrupsi digital. Disrupsi digital telah dipengaruhi oleh pesatnya perkembangan dunia teknologi informasi dan komunikasi (TIK) selama 20 tahun terakhir. Tidak hanya dari segi hardware, tetapi juga dari segi software.
“Dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, banyak peluang yang tercipta untuk pengembangan organisasi,” ujar Aurik.
Transformasi digital ini menuntut sumber daya manusia Indonesia menjadi kreatif dan memiliki kapabilitas sehingga mampu mengaplikasikan ide kreatif menjadi produk inovatif. Selain itu, organisasi juga menghadapi globalisasi yang dicirikan oleh semakin kecilnya faktor penghambat masuknya perusahaan asing ke pasar dalam negeri.
Kondisi itu ditandai dengan adanya kesepakatan-kesepakatan antar negara, regional, maupun global seperti AFTA, NAFTA, dan sebagainya. Dengan demikian, persaingan tidak lagi hanya terjadi antara perusahaan lokal, namun juga dengan perusahaan-perusahaan multinasional.
“Sinergi dengan para pihak, termasuk dengan pesaing menjadi salah satu strategi kerjasama yang memungkinkan untuk dikembangkan, dengan memanfaatkan keunggulan masing-masing yang kemudian dikenal dengan istilah co-opetition, sebagai singkatan dari cooperation (kerjasama) dan competition (persaingan),” ujar Aurik.
Tantangan organisasi selanjutnya adalah revolusi generasi dengan masuknya Generasi Z atau Milenial. Generasi ini dibesarkan dalam lingkungan yang terbiasa dengan digitalisasi. Sementara, organisasi masih didominasi oleh generasi Y dan Z yang memiliki karakter berbeda dengan generasi Z.
Kondisi tersebut memunculkan iklim yang tidak sehat bagi pertumbuhan organisasi. Generasi Z cenderung mengharapkan lingkungan kerja yang dinamis dan fleksibel dibandingkan dengan generasi sebelumnya (X dan Y). (Ayu/CN/Djavatoday)