Djavatoday.com, Indepth – Rancangan Undang-undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada 18 Januari 2022 lalu. Namun, setiap fraksi belum menemukan titik temu untuk mengesahkan RUU tersebut.
Perbedaan pendapat mengenai pengesahan RUU TPKS terjadi di meja DPR. Sebagian fraksi meminta agar RUU TPKS segera disahkan, sedangkan sebagian lagi bersikeras menolaknya. Tidak heran apabila proses legislasi RUU ini mandeg hingga 6 tahun.
Perdebatan Di Meja DPR
Fraksi yang paling keras menolak pengesahan RUU TPKS adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bukan tanpa alasan fraksi PKS menolak pengesahan RUU tersebut. Menurut pihaknya, RUU TPKS dinilai terkesan berdiri sendiri tanpa adanya sikap tegas terhadap perzinahan dan LGBT. Padahal kedua persoalan tersebut, dinilai sebagai perluasan dari pasal 284 dan 292 KUHP.
“Pembahasan rancangan KUHP masih belum berjalan sehingga tidak dapat disinkronisasikan dengan RUU TPKS, khususnya terkait kesusilaan seksual dan LGBT. Sehingga RUU TPKS tak ubahnya mengandung muatan sexual consent, yakni sejauh tidak ada kekerasan maka hubungan seksual menjadi legal,” Keterangan Surahman Hidayat, anggota Fraksi PKS, Minggu (06/2).
Berbeda dengan PKS, PDI Perjuangan justru berada digarda paling depan dalam mengupayakan pengesahan RUU TPKS. Bersama tujuh fraksi lainnya, Fraksi PDI Perjuangan menyetujui RUU tersebut pada Sidang Paripurna penetapan RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR.
“Fraksi PDI Perjuangan mendorong agar parlemen segera mengesahkan RUU TPKS. Selama ini tindak pidana kekerasan seksual hanya dianggap sebagai kejahatan kesusilaan. Sehingga kejahatan tersebut terjadi secara berulang-ulang,” Ujar Riezky Aprilia, salah satu anggota Fraksi PDI Perjuangan, Selasa (08/2).
Riezky Aprilia menambahkan, tujuan pengesahan RUU TPKS adalah fokus pada perlindungan korban kekerasan seksual dan menindak pelaku secara tegas, bukan untuk melegalkan perzinahan.
Meski fraksi PKS menolak RUU TPKS, bukan berarti tidak setuju untuk melindungi kekerasan seksual. Hanya saja pihaknya menilai, RUU TPKS tidak memuat secara komprehensif seluruh tindakan kesusilaan.
Tindakan kesusilaan yang dimaksud meliputi; kekerasan seksual, perzinahan dan penyimpangan seksual. Surahman Hidayat menilai memasukan seluruh tindakan kesusilaan merupakan esensi paling penting bagi pencegahan dan perlindungan dari kekerasan seksual.
Berdasarkan pada hal itu, fraksi PKS mengusulkan ketegasan hukum pada RUU tersebut mengenai tiga persoalan, yaitu perzinahan, kohabitasi dan seks menyimpang.
“Kami mengapresiasi pimpinan dan anggota panitia kerja yang telah bekerja keras merumuskan peraturan penghapusan kekerasan seksual. Namun kami menyayangkan, usulan kami tidak terakomodir saat meminta ditambahkan rumusan pasal baru yang berbunyi ‘ketentuan pasal 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 harus sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai Pancasila, norma agama dan budaya bangsa’,” pungkas anggota fraksi PKS itu.
Kekerasan Seksual Menghantui Perempuan Indonesia
Di tengah perdebatan RUU TPKS di meja DPR, masyarakat Indonesia menanti-nanti datangnya payung hukum penghapusan kekerasan seksual yang pro korban. Hal ini karena situasi kekerasan seksual di Indonesia sangat krusial.
Bagaimana tidak, berdasarkan keterangan yang diberikan oleh Siti Aminah, komisioner Komnas Perempuan, Kasus kekerasan terhadap perempuan pada tiga tahun terakhir adalah sebagai berikut; 2018 sebanyak 406.178 kasus, 2019 berjumlah 431.471 kasus dan pada 2020 mencapai 299.911 kasus.
Sedangkan kasus kekerasan seksual pada tahun 2018 sebanyak 5435 kasus, di 2019 berjumlah 4749 kasus dan pada 2020 mencapai 2945. Bahkan selama 2012-2020, menurut Siti Aminah, Komnas Perempuan mencatat laporan sebanyak 45.069 kasus kekerasan seksual.
Kasus kekerasan seksual paling menggemparkan di tahun 2021 adalah kelakuan bejat seorang guru ngaji asal Bandung, Herry Wirawan, yang tega mencabuli 13 santrinya. Salah satu korban bahkan telah melahirkan. Menurut pengakuannya, pelaku melakukan hal tersebut sejak 2016.
Pada Febuari 2021, giliran warga Pangandaran yang digemparkan dengan kelakuan bejat seorang paman dan anak tirinya. Mereka tega mencabuli anggota keluarganya sendiri yang masih berusia 13 tahun. Pelaku mengaku telah melakukan hal tersebut sebanyak sepuluh kali sejak tahun 2018.
Kedua kasus tersebut telah membuka mata kita, bahwa tindak pidana kekerasaan seksual kerap dilakukan secara berulang. Korban takut untuk melaporkan kepada pihak berwajib karena berbagai ancaman dari pelaku. Korban membutuhkan pendampingan dan perlindungan.
Meski saat ini para pelaku telah diringkus. Namun, bagaimana dengan masa depan korban? Bagaimana proses pemulihan korban dalam menangani dampak kekerasan yang dialaminya?
Apabila kejahatan ini dibiarkan, para korban akan mengalami beberapa dampak negatif sebagai berikut; dampak kesehatan fisik, dampak kesehatan psikis; dampak sosial dan dampak ekonomi.
Oleh karena itu, menurut Siti Aminah, yang ditunggu saat ini oleh masyarakat adalah payung hukum yang komprehensif yang memuat enam elemen sebagai berikut; Pencegahan, Tindak Pidana, Sanksi/Pidana, Hukum Acara Khusus, Hak Korban dan Pemantauan. Dengan demikian kekerasan seksual dapat dihapuskan dari bumi Indonesia.
*Liputan ini merupakan hasil In-depth Journalism Collaboration on Legislation Issues yang diselenggarakan oleh Indonesian Parliamentary Center.
Peliput: Derry Ridwan Maoshul