Djavatoday.com, Indepth – RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) telah ditetapkan sebagai RUU inisiatif DPR pada 18 Januari 2022. Pada momentum itu DPR mendapatkan banyak apresiasi dari berbagai pihak karena telah menunjukan komitmennya dalam upaya penghapusan kekerasan seksual di tanah air.
Draf RUU TPKS yang diusulkan DPR secara substansi meliputi XII BAB yang terdiri dari 73 pasal. Secara umum, usulan DPR sejalan dengan komitmen pemerintah dalam upaya penghapusan tindak kekerasan seksual secara integratif dan komprehensif.
Tidaklah mudah bagi DPR untuk merampungkan naskah RUU tersebut. Setidaknya proses perumusan RUU TPKS saat ini sudah memasuki tahun keenam. Berikut merupakan gambaran lika liku perjalanan legislasi RUU TPKS sejak awal diwacanakan, hingga dicabut dari prioritas kerja DPR.
Lika Liku Perjalanan RUU TPKS
Pada 23 Agustus 2016, Komnas Perempuan bersama Forum Pengada Layanan (FPL) menyerahkan naskah akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) kepada komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Di saat yang DPR RI pun menerima naskah akademik RUU tersebut.
Kemudian, RUU PKS ditandatangani oleh 70 anggota DPR. Adapun kepentingan nasional tentang penghapusan kekerasan seksual adalah tingginya angka kekerasan seksual kepada perempuan dan anak dalam 5 tahun terakhir.
Hingga akhir periode DPR 2014-2019, komisi VIII DPR hanya menerima tiga bab, yaitu pencegahan, perlindungan dan rehabilitasi. DPR belum satu suara mengenai pasal-pasal tindak pidana kekerasan seksual yang juga diatur dalam rancangan KUHP, yaitu pemerkosaan dan pemaksaan. Pada waktu yang sama rancangan KUHP pun mengalami penundaan.
Karena perdebatan yang terjadi di meja DPR cukup pelik, RUU PKS tidak dimasukan ke dalam RUU Prioritas DPR 2014-2019. Bahkan masa depan RUU ini semakin suram saat Wakil Ketua Komisi VIII DPR, Marwan Dasopang, melayangkan surat kepada Badan Legislasi (Baleg) agar RUU PKS dikeluarkan dari daftar Prolegnas Prioritas 2020 dan pembahasannya harus distop.
Memasuki 2021, RUU PKS kembali dimasukan dalam Prolegnas Prioritas. Hingga pada September 2021, RUU PKS berubah nama menjadi RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Sedikitnya ada 85 pasal yang absen dari peraturan tersebut, meliputi pasal berkaitan Jaminan hak korban, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.
RUU TPKS Disahkan Menjadi RUU Inisiatif DPR
Hingga rapat pleno pada 8 Desember 2021, tujuh fraksi menyatakan dukungan, yaitu PDI Perjuangan, Gerindra, Nasdem, PKB, Demokrat dan PAN. Sedangkan PPP setuju dengan syarat merubah judul menjadi Tindak Pidana Seksual. Tetapi fraksi PKS tetap menolak RUU tersebut.
Dalam penyusunan RUU TPKS, PKS merupakan fraksi paling ngotot menolak. Alasan fraksi PKS menolak adalah karena RUU TPKS belum membahas 3 poin penting dalam penghapusan kekerasan seksual, yaitu perzinahan, kohabitasi dan seks menyimpang.
Akhirnya Baleg melakukan penyempurnaan naskah RUU TPKS. Namun, pada penutupan masa sidang akhir desember 2021, RUU TPKS tidak diagendakan dalam rapat paripurna.
Memasuki 2022, DPR RI menetapkan RUU TPKS sebagai inisiatif DPR pada sidang paripurna DPR RI, Selasa 18 Januari 2022. Setidaknya penetapan ini menunjukan komitmen DPR telah sejalan dengan Presiden Joko Widodo. Presiden memerintahkan Menteri Hukum dan HAM serta Menteri PPPA untuk berkoordinasi dan konsultasi dengan DPR RI untuk selanjutnya membuat Daftar Inventarisasi Masalah (DIM).
Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) atas naskah RUU TPKS telah rampung. Adapun DIM terdiri dari 588 nomor pada RUU TPKS dan 247 nomor pada penjelasan RUU TPKS. DIM ini nantinya bisa melengkapi naskah RUU ini agar lebih komprehensif.
Beberapa Usulan yang Belum Terakomodir
Apabila RUU TPKS diharapkan dapat menghapus kekerasan seksual, maka RUU tersebut harus memiliki enam elemen kunci sebagai berikut; pencegahan, tindak pidana, sanksi/pidana, hukum acara khusus, hak korban/pemulihan dan pemantauan. Menghilangkan salah satu dari keenam elemen tersebut membuat RUU TPKS kehilangan kekuatannya.
Siti Aminah, selaku komisioner Komnas Perempuan mengusulkan penyempurnaan muatan RUU TPKS. Berikut beberapa usulan yang dimaksud; Pertama, penambahan jenis Kekerasan Siber Berbasis Gender terhadap perempuan, selain pelecehan seksual berbasis teknologi dan informasi, seperti tindak pidana rekayasa pornografi.
Kedua, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual dan pemaksaan hubungan seksual perlu dirumuskan baik sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri ataupun unsur dalam tindak pidana yang menjadi pemberat pidana.
Ketiga, perlu dirumuskan hak korban atas penghapusan jejak digital atau hak untuk dilupakan.
Selain itu, Komnas Perempuan mengusulkan pentingnya pengakuan dan penegasan peran lembaga nasional hak asasi manusia, seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Nasional Disabilitas dan lembaga independen lainya, seperti Ombudsman RI, Kompolnas dan Komjak terkait pengawasan eksternal terhadap pelaksanaan penghapusan kekerasan seksual.
Usulan lain datang dari Pimpinan Pusat Aisyiah. Melalui surat nomor 195/PPA/A/IX/2019 aktivis perempuan Muhammadiyah mengusulkan beberapa hal dalam merumuskan RUU TPKS.
Pertama, dalam RUU TPKS harus dipastikan tidak ada aturan yang tumpang tindih. Kedua, definisi kekerasan seksual harus jelas melindungi korban. Ketiga, RUU TPKS harus memberikan kepastian hukum. Keempat, RUU ini harus tersinkronisasi dengan perundang-undangan lainnya.
*Liputan ini merupakan hasil In-depth Journalism Collaboration on Legislation Issues yang diselenggarakan oleh Indonesian Parliamentary Center.
Peliput: Derry Ridwan Maoshul