DJAVATODAY.COM, OPINI– Sejak ditemukannya kalung anti virus corona atau Covid 19 sekitar awal bulan Juli 2020. ‘Anti virus’ ini sebelumnya diklaim telah memperoleh hak paten. Adapun bahan pokok anti virus tersebut adalah rempah-rempah diantaranya, Formula Aromatik Antivirus Berbasis Minyak Eucalyptus, Ramuan Inhaler, dan Ramuan Serbuk Nanoenkapsulat.
Kemudian pernyataan kalung anti virus yang dikeluarkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memicu kontroversi publik. Kalung Anti Virus Corona (Covid-19) berbahan eucalyptus. Kalung tersebut dibuat oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian.
Beberapa praktisi kesehatan mulai mengkritik kebijakan kalung anti virus corona tersebut diantaranya, Suwijiyo Pramono selaku Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan eucalyptus bukan untuk digunakan sebagai vaksin atau obat dalam. Pemakaian eucalyptus secara umum ada yang dioleskan atau dihirup seperti pada produk minyak kayu putih atau balsem. Dalam eucalyptus mengandung senyawa 1,8-Sineol yang bersifat antibakteri, antivirus, dan ekspektoran untuk mengencerkan dahak. 1,8-Sineol dikenal luas sebagai komponen kimia utama dalam minyak kayu putih.
Memang tidak bisa dipungkiri kalau eucalyptus bermanfaat bagi pasien COVID-19, lebih tepatnya, zat aktif pada eucalyptus yang dihirup berpotensi melegakan pernapasan mereka yang mengalami gejala sesak nafas dan mengencerkan dahak. Dalam hal ini bisa membantu obat standar yang diberikan kepada pasien COVID-19 dalam proses penyembuhan, bukan sebagai obat utama. Mengingat hasil riset terdahulu eucalyptus memang diketahui dapat membunuh virus influenza dan Sars terdahulu. Akan tetapi virus SARS yang dimaksud bukanlah SARS-CoV-2 alias COVID-19. “Virus Corona SARS-CoV-2 ini baru.
Pendapat lain datang dari Fadjry Djufry selaku Kepala Balitbangtan Kementerian Pertanian, ikut bersuara terkait pernyataan yang dilontarkan atasannya dan bikin heboh masyarakat. Ia menjelaskan bagaimana ‘anti virus Corona’ itu sampai diperkenalkan ke publik.
Baca Juga: Batik Ciamisan dan Perjalanan Sejarahnya
Terdapat 50 tanaman yang berpotensi menjadi antivirus, salah satunya eucalyptus. Bahan aktif yang diperoleh kemudian diuji karakteristik dan kemampuan antivirusnya dengan pengujian in vitro pada telur berembrio. Hasil pengujian terhadap beberapa bahan aktif menunjukkan bahwa eucalyptus mampu membunuh 80-100 persen virus influenza dan SARS terdahulu.
Fadjry Djufry juga mengatakan sebenarnya izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dikeluarkan untuk kalung dan roll on tersebut tidak menyebut antivirus, melainkan “hanya sebagai jamu.” “Ini bukan vaksin. Kalau memang ini tidak punya manfaat untuk antivirus, paling tidak bisa memperbaiki pernapasan. Minimal mengurangi gejala dari COVID-19.
Kemudian alih alih KEMENTAN klaim kalung berbahan eucalyptus tersebut bisa menangkal Virus Corona akan tetapi masih berada di tahap uji in vitro. Hal ini, sebetulnya yang harus jadi perhatian untuk kalung anti virus corona tersebut yang belum teruji secara klinik.
Semua penjelasan diatas memperkuat kesimpulan bahwa kalung ‘anti virus’ tersebut tidak layak disebut sebagai antivirus melainkan jamu. Mengingat antivirus tetaplah antivirus, dan vaksin tetap vaksin, bukan yang lain.
Saya akui itu sebagai bentuk usaha dan inovasi yang dilakukan oleh Kementan, tapi sebaiknya harus berbasis riset yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik, jangan hanya sekedar penyerapan anggaran corona (Covid-19) saja, tentu harus sesuai prosedur kesehatan & kebijakan yang berlaku.
Hikmah dalam kejadian tersebut, bahwa hari ini pemerintah harus melakukan langkah strategis & masif dalam bekerjasama untuk mengurangi penyebaran Covid-19 dengan menyediakan fasilitas kesehatan, menganalisa pengembangan teknologi, dan mampu mengeksekusi kebijakan yang tepat tergantung kawasan masing-masing.
Sejak ditemukannya ditemukannya kalung anti virus corona atau civic 19 sekitar awal bulan Juli 2020. ‘Anti virus’ ini sebelumnya diklaim telah memperoleh hak paten. Adapun bahan pokok anti virus tersebut adalah rempah-rempah diantaranya, Formula Aromatik Antivirus Berbasis Minyak Eucalyptus, Ramuan Inhaler, dan Ramuan Serbuk Nanoenkapsulasi.
Kemudian pernyataan kalung anti virus yang dikeluarkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo memicu kontroversi publik. Kalung Anti Virus Corona (Covid-19) berbahan eucalyptus. Kalung tersebut dibuat oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian.
Beberapa praktisi kesehatan mulai mengkritik kebijakan kalung anti virus corona tersebut diantaranya, Suwijiyo Pramono selaku Guru Besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) mengatakan eucalyptus bukan untuk digunakan sebagai vaksin atau obat dalam. Pemakaian eucalyptus secara umum ada yang dioleskan atau dihirup seperti pada produk minyak kayu putih atau balsem. Dalam eucalyptus mengandung senyawa 1,8-Sineol yang bersifat antibakteri, antivirus, dan ekspektoran untuk mengencerkan dahak. 1,8-Sineol dikenal luas sebagai komponen kimia utama dalam minyak kayu putih.
Baca Juga: Puncak Bangku Ciamis, Indahnya Pemandangan Negeri di Atas Awan
Memang tidak bisa dipungkiri kalau eucalyptus bermanfaat bagi pasien Covid -19, lebih tepatnya, zat aktif pada eucalyptus yang dihirup berpotensi melegakan pernapasan mereka yang mengalami gejala sesak nafas dan mengencerkan dahak. Dalam hal ini bisa membantu obat standar yang diberikan kepada pasien Covid -19 dalam proses penyembuhan, bukan sebagai obat utama. Mengingat hasil riset terdahulu eucalyptus memang diketahui dapat membunuh virus influenza dan Sars terdahulu. Akan tetapi virus SARS yang dimaksud bukanlah SARS-CoV-2 alias Covid -19. “Virus Corona SARS-CoV-2 ini baru.
Pendapat lain datang dari Fadjry Djufry selaku Kepala Balitbangtan Kementerian Pertanian, ikut bersuara terkait pernyataan yang dilontarkan atasannya dan bikin heboh masyarakat. Ia menjelaskan bagaimana ‘anti virus Corona’ itu sampai diperkenalkan ke publik.
Terdapat 50 tanaman yang berpotensi menjadi antivirus, salah satunya eucalyptus. Bahan aktif yang diperoleh kemudian diuji karakteristik dan kemampuan antivirusnya dengan pengujian in vitro pada telur berembrio. Hasil pengujian terhadap beberapa bahan aktif menunjukkan bahwa eucalyptus mampu membunuh 80-100 persen virus influenza dan SARS terdahulu.
Fadjry Djufry juga mengatakan sebenarnya izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang dikeluarkan untuk kalung dan roll on tersebut tidak menyebut antivirus, melainkan “hanya sebagai jamu.” “Ini bukan vaksin. Kalau memang ini tidak punya manfaat untuk antivirus, paling tidak bisa memperbaiki pernapasan. Minimal mengurangi gejala dari Covid -19.
Kemudian alih alih KEMENTAN klaim kalung berbahan eucalyptus tersebut bisa menangkal Virus Corona akan tetapi masih berada di tahap uji in vitro. Hal ini, sebetulnya yang harus jadi perhatian untuk kalung anti virus corona tersebut yang belum teruji secara klinik.
Semua penjelasan diatas memperkuat kesimpulan bahwa kalung ‘anti virus’ tersebut tidak layak disebut sebagai antivirus melainkan jamu. Mengingat antivirus tetaplah antivirus, dan vaksin tetap vaksin, bukan yang lain.
Baca Juga: 6 Tips Paling Efektif Tingkatkan Imun Tubuh Saat Pandemi COVID-19
Saya akui itu sebagai bentuk usaha dan inovasi yang dilakukan oleh Kementan, tapi sebaiknya harus berbasis riset yang bisa dipertanggungjawabkan secara akademik, jangan hanya sekedar penyerapan anggaran corona (Covid-19) saja, tentu harus sesuai prosedur kesehatan & kebijakan yang berlaku.
Hikmah dalam kejadian tersebut, bahwa hari ini pemerintah harus melakukan langkah strategis & masif dalam bekerjasama untuk mengurangi penyebaran Covid-19 dengan menyediakan fasilitas kesehatan, menganalisa pengembangan teknologi, dan mampu mengeksekusi kebijakan yang tepat tergantung kawasan masing-masing.
Mengingat kebijakan yang tidak sesuai tentu akan menimbulkan kerugian SDM yang besar sekali bagi bangsa Indonesia, Di sisi lain, warga harus terus patuh pada protokol kesehatan, dengan menggunakan masker, jaga jarak, jaga kebersihan, dan protokol lainnya, agar bangsa kita mampu melawan virus Covid-19. *Ilham S/DjavaToday